Sabtu, 27 November 2010

Pertambangan

PERTAMBANGAN
PELAKU bisnis Industri Pertambangan, pemerintah, dan para pengamat ekonomi sangat jeli dalam membingkai dan membungkus investasi pertambangan, baik tambang mineral maupun minyak dan gas. Mulai dari bungkus kepentingan devisa, penyediaan lapangan kerja, mempercepat pertumbuhan ekonomi, hingga bungkus mengurangi angka kemiskinan. “Framming” yang begitu sempurna, tapi betulkah industri pertambangan akan membawa kemakmuran bagi rakyat?.
Ada sebuah olok-olok yang kerap dilontarkan oleh kelompok pro pertambangan ketika menanggapi sikap kritis masyarakat yang menolak hadirnya industri pertambangan di daerahnya, kurang lebih begini, “Jika tak setuju dengan pertambangan, kembali saja ke zaman batu. Juga tak usah lagi menggunakan alat-alat yang menggunakan bahan dasar mineral”. Olok-olok ini mereka lakukan sebagai bunuh diri filsafat, atas ketidakmampuan mereka menjelaskan hubungan antara pertambangan dan kemakmuran rakyat yang sebenarnya tidak pernah berkorelasi positif.
Aceh tak lama lagi akan memasuki fase rezim industri pertambangan industri pertambangan mineral atau rezim industri keruk, menggantikan rezim hidrokarbon di Aceh Utara yang telah gagal menjawab arti kemakmuran bagi rakyat Aceh, padahal hasil minyak dan gas lapangan arun selama bertahun-tahun menjadi penopang APBN Indonesia di era orde baru.
Industri pertambangan merupakan industri yang tidak berkelanjutan karena tergantung pada sumberdaya yang tidak terbarukan. Jika kemudian kelompok pro pertambangan begitu yakin bahwa industri tambang mineral di Aceh akan membawa kemakmuran. Bagaimana dengan dampak lingkungan yang akan di wariskan industri pertambangan, terutama setelah beroperasi?. Justru akan lebih memiskinkan masyarakat di sekitar areal pertambangan.
Pengelolaan lingkungan hidup dalam operasi pertambangan seharusnya meliputi keseluruhan fase kegiatan pertambangan tersebut, mulai dari fase eksplorasi, fase produksi, hingga pasca penutupan tambang. Belajar dari catatan operasi penutupan pertambangan yang dilakukan oleh PT Barisan Tropical Mining (milik Laverton Gold Australia) di Sumsel, PT Indo Moro Kencana (milik Aurora Gold Australia), PT Newmont Minahasa Raya (milik Newmont Amerika Serikat), PT Kelian Equatorial Mining (milik Rio Tinto Inggris-Australia). Seharusnya Aceh telah bersiap diri dan banyak belajar dari kasus-kasus pertambangan di wilayah lain di Indonesia.
Fenomena yang terjadi pada industri pertambangan diIndonesia, justru perusahaan tambang tersebut memiliki kekebalan untuk tidak mentaati aturan-aturan lingkungan hidup dan dapat dengan bebas melakukan pencemaran tanpa takut mendapatkan sanksi. Perilaku lainnya adalah praktik pembuangan limbah pertambangan dengan cara-cara primitif, membuang langsung limbah tailing ke sungai, danau, dan laut.
Celakanya, tidak ada aturan di Indonesia yang mewajibkan perusahaan Industri Pertambangan melakukan proses penutupan tambang secara benar dan bertanggungjawab. Kontrak karya pertambangan hanya mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan reklamasi, dalam pikiran banyak pelaku industri ini adalah penghijauan atau penanaman pohon semata. Jauh panggang dari api.

DAFTAR PUSTAKA :
http://dewagumay.wordpress.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar