Sabtu, 27 November 2010

Industri

Industri
Pengolahan limbah (end-of-pipe) pada prinsipnya adalah proses perubahan dari satu jenis fasa ke fasa yang lain. Misalnya pada pengolahan limbah cair industri, kandungan pencemar dalam limbah umumnya diupayakan agar mengendap, sehingga cairan yang keluar dari sistem pengolahan limbah sudah berkurang kandungan pencemarannya. Namun masalahnya tidak selesai begitu saja. Endapan hasil olahan tersebut pada dasarnya adalah limbah cair yang lebih kental (konsentrasi pencemarnya lebih tinggi) yang berbentuk lumpur. Lumpur ini umumnya akan dikurangi kadar airnya sehingga menghasilkan suatu padatan, yang masih mengandung pencemar dengan konsentrasi tinggi. Dalam hal ini terjadi proses perubahan dari fasa cair ke fasa padat.
Contoh lain yang lebih menarik adalah pembakaran (inceneration) limbah padat/sampah. Pembakaran tersebut akan mengubah limbah padat menjadi limbah gas dan partikulat yang akan dilepaskan ke udara sekitar. Dengan kata lain, proses insenerasi ini akan menimbulkan permasalahan pencemaran udara, umumnya scrubber. Scrubber ini akan menyemprotkan air sehingga gas dan partikulat akan melarut. Larutan, yang mengandung pencemar ini, kemudian ditampung untuk kemudian diolah dan diperlakukan sebagai limbah cair. Sebuah lingkaran setan?
Selain sebagai suatu sistem yang mengubah fasa, pengolahan limbah seringkali adalah suatu bentuk perpindahan pencemaran dari suatu media ke media lainnya. Pada contoh pengolahan limbah cair diatas, hasil olahan yang berbentuk padatan harus dibuang ke landfill. Hal ini berarti memindahkan permasalahan dari pencemaran air ke media lain, dalam hal ini tanah. Sedangkan pada contoh insinerator, permasalahannya ternyata lebih kompleks. Insenerasi limbah pada yang bertujuan menghindari terjadinya pencemaran tanah ternyata memindahkan masalah ke media lain, yaitu udara dan air.
Dari sisi ekonomi, pengolahan limbah juga kurang menguntungkan. Untuk membangun suatu sistem pengolahan limbah yang baik, diperlukan biaya investasi yang besar. Pada kasus industri kecil dan menengah, sering terjadi biaya pembangunan instalasi lebih mahal dari investasi untuk industri itu sendiri. Di sisi lain, pada saat pengoperasian sistem pengolahan, diperlukan biaya yang cukup besar. Pembelian bahan kimia, listrik, air bersih, dan operator adalah beban yang harus ditanggung oleh perusahaan. Celakanya, biaya-biaya ini pada dasarnya adalah waste , karena tidak memberikan nilai tambah kepada efisiensi dan produktivitas perusahaan. Permasalahan menjadi bertambah rumit karena pada saat ini di Indonesia sangat sulit ditemukan pengolahan limbah yang mampu memberikan hasil yang memuaskan dan mampu mencapai baku mutu secara konsisten yang semakin lama akan semakin ketat.
Cleaner Production
Pendekatan end-of-pipe seperti dipaparkan diatas adalah pusat biaya (cost center) yang membebani perusahaan. Pendekatan tidak mampu menyelesaikan permasalahan lingkungan secara tuntas. Sebuah pendekatan baru akhirnya diperkenalkan, yaitu cleaner production (produksi bersih).
Cleaner production (CP) perdefinisi menurut UNEP (United Nation Development Program) adalah: suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu dan diterapkan secara kontiniu pada proses produksi dan produk untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan. CP mengintegrasikan faktor lingkungan ke dalam seluruh aspek bisnis, terutama efisiensi. Karena mencegah timbulnya limbah, maka pendekatan ini relatif lebih mampu mengatasi permasalahan limbah dibanding pendekatan lain.
Dari sisi proses produksi CP difokuskan pada peningkatan efisiensi dan efektifitas penggunaan buhan baku, energi dan sumber daya lainnya serta mengganti atau mengurangi penggunaan B3 sehinggga mengurangi jumlah dan toksisitas seluruh emisi dan limbah sebelum keluar dari proses. Dari sisi produk CP difokuskan pada pengurangan dampak diseluruh daur hidup produk mulai dari pengambilan bahan baku sampai pembuangan akhir setelah produk tersebut tidak digunakan lagi. Kedua fokus tersebut dapat dilakukan oleh industri baik secara partial maupun secara terintegratif.
Dari pandangan bisnis dan lingkungan penerapan CP akan memberikan beberapa keuntungan, yaitu:
1.Peningkatan efisiensi produksi
2.Penghematan biaya
3.Kemampuan untuk memenuhi baku mutu dan regulasi lingkungan
4.Sejalan dengan standar ISO 14000
5.Peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja
6.Peningkatan citra perusahaan
Pendekatan CP merupakan sebuah konsep yang mencakup tiga hal yang saling berhubungan, yaitu:
·Lebih sedikit pencemar yang dibuang ke lingkungan alamiah
·Lebih sedikit limbah yang ditimbulkan
·Lebih sedikit menggunakan sumber daya alam (air,energi,dan bahan baku)
CP mengurangi jumlah limbah yang harus diolah, sekaligus mengurangi limbah yang dibuang ke lingkungan. Limbah umumnya ditimbulkan dari suatu sistem yang kurang efisien. Peningkatan efisiensi proses produksi berarti akan mengurangi jumlah limbah yang ditimbulkan, sekaligus mengurangi sumberdaya yang dipergunakan. Dengan demikian, peningkatan efisiensi merupakan tulang punggung dari CP.
Teknik CP secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pengurangan limbah pada sumbernya (source reduction) dan daur ulang (recycle). Source reduction merupakan pengurangan atau eliminasi limbah pada sumbernya, biasanya dalam satu proses. Upaya ini meliputi hal sebagai berikut:
·Perubahan produk (product changes)
·Perubahan material (input material changes)
·Perubahan teknologi (technology changes)
·Penerapan operasi yang baik (good operating practices)
Warner-Lambert (di New York, USA) telah melakukan perubahan produk pada produk Novon, sejenis polimer. Pada awalnya produk ini ditujukan untuk menggantikan material kapsul yang berbahan gelatin. Inovasi ini telah melahirkan material pengganti yang berbahan startch (sejenis plosakarida). Starch diperoleh dari kentang atau jagung, sumber daya alam yang dapat diperbarui.
Warner-Lambert akhirnya merekayasa Novon menjadi beberapa produk derivat yang dapat diterapkan untuk berbagai jenis penggunaan. Diantaranya sebagai bahan pengganti plastik. Polimer ini bersifat biodegradable sehingga dapat didaurulang, dalam hal ini sebagai kompos. Produk ini juga tidak beracun (non toxic). Penggunaan komersial awal dari produk ini meliputi kapsul, stick golf, dan tempat lilin. Polimer ini juga berpotensi sebagai bahan kemasan. Produk ini telah dipasarkan ke seluruh dunia.
Kasus tersebut diatas menggambarkan suatu jenis produk yang berwawasan lingkungan. Untuk kasus tersebut, produk memiliki ciri sebagai berikut:
·Menggunakan bahan baku dari sumber daya alam yang terbaharukan (renewable resources)
·Dapat didaur ulang (recycable), dan
·Dapat diuraikan secara biologis (biodegradable).
Pilihan lain dalam sources reduction, selain perubahan produk, meliputi perubahan material input, perubahan teknologi (proses), dan praktek operasi yang baik. Contoh dari perubahan material input adalah penggantian pealrut organik dengan pelarut berbasis air, pada industri farmasi. Pendekatan ini mampu meminimalkan limbah sampai 100%. Upaya penggantian dengan pelarut berbasis air juga telah dilakukan pada industri percetakan dan pengecatan mobil. Pada industri air cinditioner, perubahan dilakukan dengan mengganti adhesive berbasis solvent dengan produk yang berbasis air. Substitusi material-material seperti timbal, raksa, DDT, dan CFCs telah diterapkan di banyak perusahaan, dan telah mengeliminasi permasalahan limbah yang ditimbulkannya.
Perubahan material input juga dapat dilakukan dengan melakukan pemurnian. Sebagai contoh adalah menghilangkan kandungan Sulfur dari batubara, pada pembangkit listrik bertenaga batubara. Pendekatan ini akan menghilangkan emisi sulfur ke udara, sekaligus mengeliminasi sistem pengolahan sulfur.
Timbulan limbah juga dapat diminimalkan dengan menginstalasikan perlatan proses yang lebih efisien atau memodifikasi sistem yang ada. Penggunaan peralatan yang lebih efisien akan mampu menghasilkan beberapa keuntungan, diantaranya produktifitas yang lebih tinggi, mengurangi biaya bahan baku, dan mengurangi biaya pengolahan limbah.
Praktek operasi yang baik (good operating practices/GOP) adalah pilihan lain dari sources reduction. GOP melibatkan unsur-unsur:
·Pengawasan terhadap prosedur-prosedur operasi
·Loss prevention
·Praktek manejemen
·Segregasi limbah
·Perbaikan penanganan material
·Penjadwalan produk
Tujuan dari GOP adalah untuk mengoperasikan peralatan dan sistem produksi secara optimal. Hal ini adalah tugas paling mendasar dari manajemen. Sebagai contoh, pengoperasian secara tepat dan pemeliharaan secara berkala dari peralatan dapat mengurangi, secara substantif, kebocoran dan pemborosan material. Peningkatan GOP umumnya dapat menurunkan jumlah limbah antara 20% s/d 30%, dengan biaya yang rendah.
GOP memerlukan perhatian secara detail dan pemantauan secara konstan terhadap aliran bahan baku dan dampaknya. Pendekatan ini membuat perusahaan dapat mengetahui secara tepat jumlah dan jenis limbahyang dihasilkan pada setiap tahapan proses produksi.
Daur ulang merupakan penggunaan kembali limbah dalam berbagai bentuk, diantaranya:
·Dikembalikan lagi ke proses semula
·Sebagai bahan baku pengganti untuk proses produksi lain,
·Direkaveri untuk diambil kembali bagian yang bermanfaat, atau
·Diolah sebagai produk samping.
Walaupun daur ulang limbah cenderung cost effective dibandingkan pengolahan limbah, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa proses daur ulang limbah (dalam bentuk recovery material misalnya) sebaiknya dipertimbangkan setelah seluruh upaya pengurangan jumlah limbah pada sumber akan lebih cost effective dibandingkan daur ulang. Hal ini karena daur ualng limbah cenderung lebih memerlukan waktu dan biaya dalam pengelolaanya. Literatur-literatur umumnya meletakkan daur ulang pada pilihan terakhir dalam hirarki CP.
Pendekatan daur ulang dianggap sebagai pendekatan reaktif dan bukan proaktif. Hal ini karena pendekatan murni dari daur ulang seakan membiarkan timbul limbah, dan baru melakukan upaya pengelolaan setelahnya. Terlepas masalah tersebut diatas, pendekatan daur ulang mampu membantu menyelesaikan permasalahan limbah dan pengehematan sumber daya. Sebagai contoh, daur ulang satu ton kertas akan menghemat 17 pohon, 7000 galon air, 14 KWH listrik, dibandingkan dengan memproduksinya secara konvensional.
Contoh-contoh Penerapan Cleaner Production di Industri
Minfeng Pulp and Paper (China)
Melalui perbaikan proses, perbaikan sistem pencucian, peningkatan pengendalian proses, dan perbaikan prosedur operasi, pabrik ini telah menghasilkan beberapa penghematan, diantaranya:
·Mampu mengurangi beban COD sebanyak 900 ton
·Rendemen (yield) meningkat dari 45% menjadi 51 %
·Penggunaan bahan soda kaustik berkurang sebesar 230 ton
·Secara total penghematan yang dihasilkan sebesar US$ 85.000 setipa tahunya.
Toyota Astra Motor (TAM)
Pelaksanaan komitment TAM terhadap lingkungan dalam bentuk program 5R, yang terdiri dari Refine, Reduce, Reuse, Recyle, dan Recover/Retrieve. Untuk pelaksanaannya TAM mempunyai komite P2K3L (Panitia Pembina Kesehatan & Keselamatan Kerja, dan Lingkungan), yang terdiri dari tenaga ahli dari setiap pabrik yang ada. Di samping itu TAM juga membuat kegiatan yang dapat memacu karyawan untuk menciptakan ide-ide perbaikan masalah lingkungan.
Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah:
1.Penggantian material (penggantian Trichloroethylene dengan Xylol)
2.Hemat energi,
3.Daur ulang pelarut dan air
Penghematan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
·Penggantian Trichloroethylene sebesar Rp. 138.600.000,-/tahun
·Penghematan energi sebesar Rp 256.370.000,-/tahun
·Daur ulang pelarut sebesar Rp. 13.200.000,-/tahun
·Daur pakai air sebesar Rp. 39.000.000,-/tahun
3M,
3M adalah salah satu perusahaan yang bisa dikatakan berhasil dalam menerapkan CP, dalam bentuk pencegahan pencemaran (Pollution Prevention). Program pencegahan pencemaran ini dilakukan oleh 3M secara sukarela (voluntary) dan merupakan cerminan sikap proaktif yang dianut oleh perusahaan itu. Hal terpenting dari kebijaksanaan 3M adalah kemampuan dan kemauannya dalam menggeser paradigma dari pendekatan end of pipe menjadi up the pipe. Bagi mereka, cara terbaik mengelola limbah adalah dengan tidak menimbulkan limbah.
Program pencegahan pencemaran dari 3M dikenal dengan nama 3P (pollution prevention pays), yang mulai dikembangkan pada tahun 1975. Dua tujuan dasar dari 3P adalah:
1.Mengeliminasi pencemaran pada sumbernya, sebelum timbul. Upaya ini akan menurunkan biaya lingkungan, mengurangi penggunaan energi, dan mengurangi penggunaan bahan baku yang diperlukan untuk produksi.
2.Memperhitungkan limbah sebagai bahan baku/sumber dya yang belum terpakai.
Sejak 1975 sampai dengan 1992 (atau selama 17 tahun), 3M melakukan 3.000 proyek 3P. Selama kurun waktu tersebut hal-hal yang telah dicapai adalah tereliminasinya:
·170.000 ton pencemar udara
·18.000 ton pencemar air
·2,7 milyar gallon limbah cair
·480.000 ton limbah padat
Dalam kurun waktu tersebut 3M telah menghemat 500 juta dolar.
Strategi dasar yang dilakukan oleh 3M dalam melakukan pencegahan pencemaran adalah:
·adanya komitmen dari manajemen puncak untuk melaksanakan program 3P.
·menjadikan pencegahan pencemaran sebagai salah satu budaya perusahaan.
·adanya komitmen untuk menjadikan pencegahan pencemaran sebagai salah satu elemen penting setiap rencana usaha 3M dan menjadikannya sebagai tolok ukur kinerja.
·menjadikan keberhasilan dalam menerapkan pencegahan pencemaran sebagai bagian dari penilaian kinerja karyawan dan manajer.
·Adanya komitmen untuk membiayai program penelitian dan pengembangan pencegahan pencemaran yang diwujudkan dengan mengucurkan dana sebesar 100 juta dolar untuk hal tersebut.
·Hal yang terpenting dalam penerapan program 3P adalah mulai dikembangkannya suatu hubungan antara tingkat keluaran pabrik dengan tingkat timbulan limbah.

Daftar Pustaka :

Industri

Pengolahan limbah (end-of-pipe) pada prinsipnya adalah proses perubahan dari satu jenis fasa ke fasa yang lain. Misalnya pada pengolahan limbah cair industri, kandungan pencemar dalam limbah umumnya diupayakan agar mengendap, sehingga cairan yang keluar dari sistem pengolahan limbah sudah berkurang kandungan pencemarannya. Namun masalahnya tidak selesai begitu saja. Endapan hasil olahan tersebut pada dasarnya adalah limbah cair yang lebih kental (konsentrasi pencemarnya lebih tinggi) yang berbentuk lumpur. Lumpur ini umumnya akan dikurangi kadar airnya sehingga menghasilkan suatu padatan, yang masih mengandung pencemar dengan konsentrasi tinggi. Dalam hal ini terjadi proses perubahan dari fasa cair ke fasa padat.
Contoh lain yang lebih menarik adalah pembakaran (inceneration) limbah padat/sampah. Pembakaran tersebut akan mengubah limbah padat menjadi limbah gas dan partikulat yang akan dilepaskan ke udara sekitar. Dengan kata lain, proses insenerasi ini akan menimbulkan permasalahan pencemaran udara, umumnya scrubber. Scrubber ini akan menyemprotkan air sehingga gas dan partikulat akan melarut. Larutan, yang mengandung pencemar ini, kemudian ditampung untuk kemudian diolah dan diperlakukan sebagai limbah cair. Sebuah lingkaran setan?
Selain sebagai suatu sistem yang mengubah fasa, pengolahan limbah seringkali adalah suatu bentuk perpindahan pencemaran dari suatu media ke media lainnya. Pada contoh pengolahan limbah cair diatas, hasil olahan yang berbentuk padatan harus dibuang ke landfill. Hal ini berarti memindahkan permasalahan dari pencemaran air ke media lain, dalam hal ini tanah. Sedangkan pada contoh insinerator, permasalahannya ternyata lebih kompleks. Insenerasi limbah pada yang bertujuan menghindari terjadinya pencemaran tanah ternyata memindahkan masalah ke media lain, yaitu udara dan air.
Dari sisi ekonomi, pengolahan limbah juga kurang menguntungkan. Untuk membangun suatu sistem pengolahan limbah yang baik, diperlukan biaya investasi yang besar. Pada kasus industri kecil dan menengah, sering terjadi biaya pembangunan instalasi lebih mahal dari investasi untuk industri itu sendiri. Di sisi lain, pada saat pengoperasian sistem pengolahan, diperlukan biaya yang cukup besar. Pembelian bahan kimia, listrik, air bersih, dan operator adalah beban yang harus ditanggung oleh perusahaan. Celakanya, biaya-biaya ini pada dasarnya adalah waste , karena tidak memberikan nilai tambah kepada efisiensi dan produktivitas perusahaan. Permasalahan menjadi bertambah rumit karena pada saat ini di Indonesia sangat sulit ditemukan pengolahan limbah yang mampu memberikan hasil yang memuaskan dan mampu mencapai baku mutu secara konsisten yang semakin lama akan semakin ketat.
Cleaner Production
Pendekatan end-of-pipe seperti dipaparkan diatas adalah pusat biaya (cost center) yang membebani perusahaan. Pendekatan tidak mampu menyelesaikan permasalahan lingkungan secara tuntas. Sebuah pendekatan baru akhirnya diperkenalkan, yaitu cleaner production (produksi bersih).
Cleaner production (CP) perdefinisi menurut UNEP (United Nation Development Program) adalah: suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu dan diterapkan secara kontiniu pada proses produksi dan produk untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan. CP mengintegrasikan faktor lingkungan ke dalam seluruh aspek bisnis, terutama efisiensi. Karena mencegah timbulnya limbah, maka pendekatan ini relatif lebih mampu mengatasi permasalahan limbah dibanding pendekatan lain.
Dari sisi proses produksi CP difokuskan pada peningkatan efisiensi dan efektifitas penggunaan buhan baku, energi dan sumber daya lainnya serta mengganti atau mengurangi penggunaan B3 sehinggga mengurangi jumlah dan toksisitas seluruh emisi dan limbah sebelum keluar dari proses. Dari sisi produk CP difokuskan pada pengurangan dampak diseluruh daur hidup produk mulai dari pengambilan bahan baku sampai pembuangan akhir setelah produk tersebut tidak digunakan lagi. Kedua fokus tersebut dapat dilakukan oleh industri baik secara partial maupun secara terintegratif.
Dari pandangan bisnis dan lingkungan penerapan CP akan memberikan beberapa keuntungan, yaitu:
1.Peningkatan efisiensi produksi
2.Penghematan biaya
3.Kemampuan untuk memenuhi baku mutu dan regulasi lingkungan
4.Sejalan dengan standar ISO 14000
5.Peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja
6.Peningkatan citra perusahaan
Pendekatan CP merupakan sebuah konsep yang mencakup tiga hal yang saling berhubungan, yaitu:
·Lebih sedikit pencemar yang dibuang ke lingkungan alamiah
·Lebih sedikit limbah yang ditimbulkan
·Lebih sedikit menggunakan sumber daya alam (air,energi,dan bahan baku)
CP mengurangi jumlah limbah yang harus diolah, sekaligus mengurangi limbah yang dibuang ke lingkungan. Limbah umumnya ditimbulkan dari suatu sistem yang kurang efisien. Peningkatan efisiensi proses produksi berarti akan mengurangi jumlah limbah yang ditimbulkan, sekaligus mengurangi sumberdaya yang dipergunakan. Dengan demikian, peningkatan efisiensi merupakan tulang punggung dari CP.
Teknik CP secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pengurangan limbah pada sumbernya (source reduction) dan daur ulang (recycle). Source reduction merupakan pengurangan atau eliminasi limbah pada sumbernya, biasanya dalam satu proses. Upaya ini meliputi hal sebagai berikut:
·Perubahan produk (product changes)
·Perubahan material (input material changes)
·Perubahan teknologi (technology changes)
·Penerapan operasi yang baik (good operating practices)
Warner-Lambert (di New York, USA) telah melakukan perubahan produk pada produk Novon, sejenis polimer. Pada awalnya produk ini ditujukan untuk menggantikan material kapsul yang berbahan gelatin. Inovasi ini telah melahirkan material pengganti yang berbahan startch (sejenis plosakarida). Starch diperoleh dari kentang atau jagung, sumber daya alam yang dapat diperbarui.
Warner-Lambert akhirnya merekayasa Novon menjadi beberapa produk derivat yang dapat diterapkan untuk berbagai jenis penggunaan. Diantaranya sebagai bahan pengganti plastik. Polimer ini bersifat biodegradable sehingga dapat didaurulang, dalam hal ini sebagai kompos. Produk ini juga tidak beracun (non toxic). Penggunaan komersial awal dari produk ini meliputi kapsul, stick golf, dan tempat lilin. Polimer ini juga berpotensi sebagai bahan kemasan. Produk ini telah dipasarkan ke seluruh dunia.
Kasus tersebut diatas menggambarkan suatu jenis produk yang berwawasan lingkungan. Untuk kasus tersebut, produk memiliki ciri sebagai berikut:
·Menggunakan bahan baku dari sumber daya alam yang terbaharukan (renewable resources)
·Dapat didaur ulang (recycable), dan
·Dapat diuraikan secara biologis (biodegradable).
Pilihan lain dalam sources reduction, selain perubahan produk, meliputi perubahan material input, perubahan teknologi (proses), dan praktek operasi yang baik. Contoh dari perubahan material input adalah penggantian pealrut organik dengan pelarut berbasis air, pada industri farmasi. Pendekatan ini mampu meminimalkan limbah sampai 100%. Upaya penggantian dengan pelarut berbasis air juga telah dilakukan pada industri percetakan dan pengecatan mobil. Pada industri air cinditioner, perubahan dilakukan dengan mengganti adhesive berbasis solvent dengan produk yang berbasis air. Substitusi material-material seperti timbal, raksa, DDT, dan CFCs telah diterapkan di banyak perusahaan, dan telah mengeliminasi permasalahan limbah yang ditimbulkannya.
Perubahan material input juga dapat dilakukan dengan melakukan pemurnian. Sebagai contoh adalah menghilangkan kandungan Sulfur dari batubara, pada pembangkit listrik bertenaga batubara. Pendekatan ini akan menghilangkan emisi sulfur ke udara, sekaligus mengeliminasi sistem pengolahan sulfur.
Timbulan limbah juga dapat diminimalkan dengan menginstalasikan perlatan proses yang lebih efisien atau memodifikasi sistem yang ada. Penggunaan peralatan yang lebih efisien akan mampu menghasilkan beberapa keuntungan, diantaranya produktifitas yang lebih tinggi, mengurangi biaya bahan baku, dan mengurangi biaya pengolahan limbah.
Praktek operasi yang baik (good operating practices/GOP) adalah pilihan lain dari sources reduction. GOP melibatkan unsur-unsur:
·Pengawasan terhadap prosedur-prosedur operasi
·Loss prevention
·Praktek manejemen
·Segregasi limbah
·Perbaikan penanganan material
·Penjadwalan produk
Tujuan dari GOP adalah untuk mengoperasikan peralatan dan sistem produksi secara optimal. Hal ini adalah tugas paling mendasar dari manajemen. Sebagai contoh, pengoperasian secara tepat dan pemeliharaan secara berkala dari peralatan dapat mengurangi, secara substantif, kebocoran dan pemborosan material. Peningkatan GOP umumnya dapat menurunkan jumlah limbah antara 20% s/d 30%, dengan biaya yang rendah.
GOP memerlukan perhatian secara detail dan pemantauan secara konstan terhadap aliran bahan baku dan dampaknya. Pendekatan ini membuat perusahaan dapat mengetahui secara tepat jumlah dan jenis limbahyang dihasilkan pada setiap tahapan proses produksi.
Daur ulang merupakan penggunaan kembali limbah dalam berbagai bentuk, diantaranya:
·Dikembalikan lagi ke proses semula
·Sebagai bahan baku pengganti untuk proses produksi lain,
·Direkaveri untuk diambil kembali bagian yang bermanfaat, atau
·Diolah sebagai produk samping.
Walaupun daur ulang limbah cenderung cost effective dibandingkan pengolahan limbah, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa proses daur ulang limbah (dalam bentuk recovery material misalnya) sebaiknya dipertimbangkan setelah seluruh upaya pengurangan jumlah limbah pada sumber akan lebih cost effective dibandingkan daur ulang. Hal ini karena daur ualng limbah cenderung lebih memerlukan waktu dan biaya dalam pengelolaanya. Literatur-literatur umumnya meletakkan daur ulang pada pilihan terakhir dalam hirarki CP.
Pendekatan daur ulang dianggap sebagai pendekatan reaktif dan bukan proaktif. Hal ini karena pendekatan murni dari daur ulang seakan membiarkan timbul limbah, dan baru melakukan upaya pengelolaan setelahnya. Terlepas masalah tersebut diatas, pendekatan daur ulang mampu membantu menyelesaikan permasalahan limbah dan pengehematan sumber daya. Sebagai contoh, daur ulang satu ton kertas akan menghemat 17 pohon, 7000 galon air, 14 KWH listrik, dibandingkan dengan memproduksinya secara konvensional.
Contoh-contoh Penerapan Cleaner Production di Industri
Minfeng Pulp and Paper (China)
Melalui perbaikan proses, perbaikan sistem pencucian, peningkatan pengendalian proses, dan perbaikan prosedur operasi, pabrik ini telah menghasilkan beberapa penghematan, diantaranya:
·Mampu mengurangi beban COD sebanyak 900 ton
·Rendemen (yield) meningkat dari 45% menjadi 51 %
·Penggunaan bahan soda kaustik berkurang sebesar 230 ton
·Secara total penghematan yang dihasilkan sebesar US$ 85.000 setipa tahunya.
Toyota Astra Motor (TAM)
Pelaksanaan komitment TAM terhadap lingkungan dalam bentuk program 5R, yang terdiri dari Refine, Reduce, Reuse, Recyle, dan Recover/Retrieve. Untuk pelaksanaannya TAM mempunyai komite P2K3L (Panitia Pembina Kesehatan & Keselamatan Kerja, dan Lingkungan), yang terdiri dari tenaga ahli dari setiap pabrik yang ada. Di samping itu TAM juga membuat kegiatan yang dapat memacu karyawan untuk menciptakan ide-ide perbaikan masalah lingkungan.
Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah:
1.Penggantian material (penggantian Trichloroethylene dengan Xylol)
2.Hemat energi,
3.Daur ulang pelarut dan air
Penghematan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
·Penggantian Trichloroethylene sebesar Rp. 138.600.000,-/tahun
·Penghematan energi sebesar Rp 256.370.000,-/tahun
·Daur ulang pelarut sebesar Rp. 13.200.000,-/tahun
·Daur pakai air sebesar Rp. 39.000.000,-/tahun
3M,
3M adalah salah satu perusahaan yang bisa dikatakan berhasil dalam menerapkan CP, dalam bentuk pencegahan pencemaran (Pollution Prevention). Program pencegahan pencemaran ini dilakukan oleh 3M secara sukarela (voluntary) dan merupakan cerminan sikap proaktif yang dianut oleh perusahaan itu. Hal terpenting dari kebijaksanaan 3M adalah kemampuan dan kemauannya dalam menggeser paradigma dari pendekatan end of pipe menjadi up the pipe. Bagi mereka, cara terbaik mengelola limbah adalah dengan tidak menimbulkan limbah.
Program pencegahan pencemaran dari 3M dikenal dengan nama 3P (pollution prevention pays), yang mulai dikembangkan pada tahun 1975. Dua tujuan dasar dari 3P adalah:
1.Mengeliminasi pencemaran pada sumbernya, sebelum timbul. Upaya ini akan menurunkan biaya lingkungan, mengurangi penggunaan energi, dan mengurangi penggunaan bahan baku yang diperlukan untuk produksi.
2.Memperhitungkan limbah sebagai bahan baku/sumber dya yang belum terpakai.
Sejak 1975 sampai dengan 1992 (atau selama 17 tahun), 3M melakukan 3.000 proyek 3P. Selama kurun waktu tersebut hal-hal yang telah dicapai adalah tereliminasinya:
·170.000 ton pencemar udara
·18.000 ton pencemar air
·2,7 milyar gallon limbah cair
·480.000 ton limbah padat
Dalam kurun waktu tersebut 3M telah menghemat 500 juta dolar.
Strategi dasar yang dilakukan oleh 3M dalam melakukan pencegahan pencemaran adalah:
·adanya komitmen dari manajemen puncak untuk melaksanakan program 3P.
·menjadikan pencegahan pencemaran sebagai salah satu budaya perusahaan.
·adanya komitmen untuk menjadikan pencegahan pencemaran sebagai salah satu elemen penting setiap rencana usaha 3M dan menjadikannya sebagai tolok ukur kinerja.
·menjadikan keberhasilan dalam menerapkan pencegahan pencemaran sebagai bagian dari penilaian kinerja karyawan dan manajer.
·Adanya komitmen untuk membiayai program penelitian dan pengembangan pencegahan pencemaran yang diwujudkan dengan mengucurkan dana sebesar 100 juta dolar untuk hal tersebut.
·Hal yang terpenting dalam penerapan program 3P adalah mulai dikembangkannya suatu hubungan antara tingkat keluaran pabrik dengan tingkat timbulan limbah.



Daftar Pustaka :
http://www.iatpi.org/isi.php?item=artikel&rec=5

Industri

Pengolahan limbah (end-of-pipe) pada prinsipnya adalah proses perubahan dari satu jenis fasa ke fasa yang lain. Misalnya pada pengolahan limbah cair industri, kandungan pencemar dalam limbah umumnya diupayakan agar mengendap, sehingga cairan yang keluar dari sistem pengolahan limbah sudah berkurang kandungan pencemarannya. Namun masalahnya tidak selesai begitu saja. Endapan hasil olahan tersebut pada dasarnya adalah limbah cair yang lebih kental (konsentrasi pencemarnya lebih tinggi) yang berbentuk lumpur. Lumpur ini umumnya akan dikurangi kadar airnya sehingga menghasilkan suatu padatan, yang masih mengandung pencemar dengan konsentrasi tinggi. Dalam hal ini terjadi proses perubahan dari fasa cair ke fasa padat.
Contoh lain yang lebih menarik adalah pembakaran (inceneration) limbah padat/sampah. Pembakaran tersebut akan mengubah limbah padat menjadi limbah gas dan partikulat yang akan dilepaskan ke udara sekitar. Dengan kata lain, proses insenerasi ini akan menimbulkan permasalahan pencemaran udara, umumnya scrubber. Scrubber ini akan menyemprotkan air sehingga gas dan partikulat akan melarut. Larutan, yang mengandung pencemar ini, kemudian ditampung untuk kemudian diolah dan diperlakukan sebagai limbah cair. Sebuah lingkaran setan?
Selain sebagai suatu sistem yang mengubah fasa, pengolahan limbah seringkali adalah suatu bentuk perpindahan pencemaran dari suatu media ke media lainnya. Pada contoh pengolahan limbah cair diatas, hasil olahan yang berbentuk padatan harus dibuang ke landfill. Hal ini berarti memindahkan permasalahan dari pencemaran air ke media lain, dalam hal ini tanah. Sedangkan pada contoh insinerator, permasalahannya ternyata lebih kompleks. Insenerasi limbah pada yang bertujuan menghindari terjadinya pencemaran tanah ternyata memindahkan masalah ke media lain, yaitu udara dan air.
Dari sisi ekonomi, pengolahan limbah juga kurang menguntungkan. Untuk membangun suatu sistem pengolahan limbah yang baik, diperlukan biaya investasi yang besar. Pada kasus industri kecil dan menengah, sering terjadi biaya pembangunan instalasi lebih mahal dari investasi untuk industri itu sendiri. Di sisi lain, pada saat pengoperasian sistem pengolahan, diperlukan biaya yang cukup besar. Pembelian bahan kimia, listrik, air bersih, dan operator adalah beban yang harus ditanggung oleh perusahaan. Celakanya, biaya-biaya ini pada dasarnya adalah waste , karena tidak memberikan nilai tambah kepada efisiensi dan produktivitas perusahaan. Permasalahan menjadi bertambah rumit karena pada saat ini di Indonesia sangat sulit ditemukan pengolahan limbah yang mampu memberikan hasil yang memuaskan dan mampu mencapai baku mutu secara konsisten yang semakin lama akan semakin ketat.
Cleaner Production
Pendekatan end-of-pipe seperti dipaparkan diatas adalah pusat biaya (cost center) yang membebani perusahaan. Pendekatan tidak mampu menyelesaikan permasalahan lingkungan secara tuntas. Sebuah pendekatan baru akhirnya diperkenalkan, yaitu cleaner production (produksi bersih).
Cleaner production (CP) perdefinisi menurut UNEP (United Nation Development Program) adalah: suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu dan diterapkan secara kontiniu pada proses produksi dan produk untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan. CP mengintegrasikan faktor lingkungan ke dalam seluruh aspek bisnis, terutama efisiensi. Karena mencegah timbulnya limbah, maka pendekatan ini relatif lebih mampu mengatasi permasalahan limbah dibanding pendekatan lain.
Dari sisi proses produksi CP difokuskan pada peningkatan efisiensi dan efektifitas penggunaan buhan baku, energi dan sumber daya lainnya serta mengganti atau mengurangi penggunaan B3 sehinggga mengurangi jumlah dan toksisitas seluruh emisi dan limbah sebelum keluar dari proses. Dari sisi produk CP difokuskan pada pengurangan dampak diseluruh daur hidup produk mulai dari pengambilan bahan baku sampai pembuangan akhir setelah produk tersebut tidak digunakan lagi. Kedua fokus tersebut dapat dilakukan oleh industri baik secara partial maupun secara terintegratif.
Dari pandangan bisnis dan lingkungan penerapan CP akan memberikan beberapa keuntungan, yaitu:
1.Peningkatan efisiensi produksi
2.Penghematan biaya
3.Kemampuan untuk memenuhi baku mutu dan regulasi lingkungan
4.Sejalan dengan standar ISO 14000
5.Peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja
6.Peningkatan citra perusahaan
Pendekatan CP merupakan sebuah konsep yang mencakup tiga hal yang saling berhubungan, yaitu:
·Lebih sedikit pencemar yang dibuang ke lingkungan alamiah
·Lebih sedikit limbah yang ditimbulkan
·Lebih sedikit menggunakan sumber daya alam (air,energi,dan bahan baku)
CP mengurangi jumlah limbah yang harus diolah, sekaligus mengurangi limbah yang dibuang ke lingkungan. Limbah umumnya ditimbulkan dari suatu sistem yang kurang efisien. Peningkatan efisiensi proses produksi berarti akan mengurangi jumlah limbah yang ditimbulkan, sekaligus mengurangi sumberdaya yang dipergunakan. Dengan demikian, peningkatan efisiensi merupakan tulang punggung dari CP.
Teknik CP secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pengurangan limbah pada sumbernya (source reduction) dan daur ulang (recycle). Source reduction merupakan pengurangan atau eliminasi limbah pada sumbernya, biasanya dalam satu proses. Upaya ini meliputi hal sebagai berikut:
·Perubahan produk (product changes)
·Perubahan material (input material changes)
·Perubahan teknologi (technology changes)
·Penerapan operasi yang baik (good operating practices)
Warner-Lambert (di New York, USA) telah melakukan perubahan produk pada produk Novon, sejenis polimer. Pada awalnya produk ini ditujukan untuk menggantikan material kapsul yang berbahan gelatin. Inovasi ini telah melahirkan material pengganti yang berbahan startch (sejenis plosakarida). Starch diperoleh dari kentang atau jagung, sumber daya alam yang dapat diperbarui.
Warner-Lambert akhirnya merekayasa Novon menjadi beberapa produk derivat yang dapat diterapkan untuk berbagai jenis penggunaan. Diantaranya sebagai bahan pengganti plastik. Polimer ini bersifat biodegradable sehingga dapat didaurulang, dalam hal ini sebagai kompos. Produk ini juga tidak beracun (non toxic). Penggunaan komersial awal dari produk ini meliputi kapsul, stick golf, dan tempat lilin. Polimer ini juga berpotensi sebagai bahan kemasan. Produk ini telah dipasarkan ke seluruh dunia.
Kasus tersebut diatas menggambarkan suatu jenis produk yang berwawasan lingkungan. Untuk kasus tersebut, produk memiliki ciri sebagai berikut:
·Menggunakan bahan baku dari sumber daya alam yang terbaharukan (renewable resources)
·Dapat didaur ulang (recycable), dan
·Dapat diuraikan secara biologis (biodegradable).
Pilihan lain dalam sources reduction, selain perubahan produk, meliputi perubahan material input, perubahan teknologi (proses), dan praktek operasi yang baik. Contoh dari perubahan material input adalah penggantian pealrut organik dengan pelarut berbasis air, pada industri farmasi. Pendekatan ini mampu meminimalkan limbah sampai 100%. Upaya penggantian dengan pelarut berbasis air juga telah dilakukan pada industri percetakan dan pengecatan mobil. Pada industri air cinditioner, perubahan dilakukan dengan mengganti adhesive berbasis solvent dengan produk yang berbasis air. Substitusi material-material seperti timbal, raksa, DDT, dan CFCs telah diterapkan di banyak perusahaan, dan telah mengeliminasi permasalahan limbah yang ditimbulkannya.
Perubahan material input juga dapat dilakukan dengan melakukan pemurnian. Sebagai contoh adalah menghilangkan kandungan Sulfur dari batubara, pada pembangkit listrik bertenaga batubara. Pendekatan ini akan menghilangkan emisi sulfur ke udara, sekaligus mengeliminasi sistem pengolahan sulfur.
Timbulan limbah juga dapat diminimalkan dengan menginstalasikan perlatan proses yang lebih efisien atau memodifikasi sistem yang ada. Penggunaan peralatan yang lebih efisien akan mampu menghasilkan beberapa keuntungan, diantaranya produktifitas yang lebih tinggi, mengurangi biaya bahan baku, dan mengurangi biaya pengolahan limbah.
Praktek operasi yang baik (good operating practices/GOP) adalah pilihan lain dari sources reduction. GOP melibatkan unsur-unsur:
·Pengawasan terhadap prosedur-prosedur operasi
·Loss prevention
·Praktek manejemen
·Segregasi limbah
·Perbaikan penanganan material
·Penjadwalan produk
Tujuan dari GOP adalah untuk mengoperasikan peralatan dan sistem produksi secara optimal. Hal ini adalah tugas paling mendasar dari manajemen. Sebagai contoh, pengoperasian secara tepat dan pemeliharaan secara berkala dari peralatan dapat mengurangi, secara substantif, kebocoran dan pemborosan material. Peningkatan GOP umumnya dapat menurunkan jumlah limbah antara 20% s/d 30%, dengan biaya yang rendah.
GOP memerlukan perhatian secara detail dan pemantauan secara konstan terhadap aliran bahan baku dan dampaknya. Pendekatan ini membuat perusahaan dapat mengetahui secara tepat jumlah dan jenis limbahyang dihasilkan pada setiap tahapan proses produksi.
Daur ulang merupakan penggunaan kembali limbah dalam berbagai bentuk, diantaranya:
·Dikembalikan lagi ke proses semula
·Sebagai bahan baku pengganti untuk proses produksi lain,
·Direkaveri untuk diambil kembali bagian yang bermanfaat, atau
·Diolah sebagai produk samping.
Walaupun daur ulang limbah cenderung cost effective dibandingkan pengolahan limbah, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa proses daur ulang limbah (dalam bentuk recovery material misalnya) sebaiknya dipertimbangkan setelah seluruh upaya pengurangan jumlah limbah pada sumber akan lebih cost effective dibandingkan daur ulang. Hal ini karena daur ualng limbah cenderung lebih memerlukan waktu dan biaya dalam pengelolaanya. Literatur-literatur umumnya meletakkan daur ulang pada pilihan terakhir dalam hirarki CP.
Pendekatan daur ulang dianggap sebagai pendekatan reaktif dan bukan proaktif. Hal ini karena pendekatan murni dari daur ulang seakan membiarkan timbul limbah, dan baru melakukan upaya pengelolaan setelahnya. Terlepas masalah tersebut diatas, pendekatan daur ulang mampu membantu menyelesaikan permasalahan limbah dan pengehematan sumber daya. Sebagai contoh, daur ulang satu ton kertas akan menghemat 17 pohon, 7000 galon air, 14 KWH listrik, dibandingkan dengan memproduksinya secara konvensional.
Contoh-contoh Penerapan Cleaner Production di Industri
Minfeng Pulp and Paper (China)
Melalui perbaikan proses, perbaikan sistem pencucian, peningkatan pengendalian proses, dan perbaikan prosedur operasi, pabrik ini telah menghasilkan beberapa penghematan, diantaranya:
·Mampu mengurangi beban COD sebanyak 900 ton
·Rendemen (yield) meningkat dari 45% menjadi 51 %
·Penggunaan bahan soda kaustik berkurang sebesar 230 ton
·Secara total penghematan yang dihasilkan sebesar US$ 85.000 setipa tahunya.
Toyota Astra Motor (TAM)
Pelaksanaan komitment TAM terhadap lingkungan dalam bentuk program 5R, yang terdiri dari Refine, Reduce, Reuse, Recyle, dan Recover/Retrieve. Untuk pelaksanaannya TAM mempunyai komite P2K3L (Panitia Pembina Kesehatan & Keselamatan Kerja, dan Lingkungan), yang terdiri dari tenaga ahli dari setiap pabrik yang ada. Di samping itu TAM juga membuat kegiatan yang dapat memacu karyawan untuk menciptakan ide-ide perbaikan masalah lingkungan.
Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah:
1.Penggantian material (penggantian Trichloroethylene dengan Xylol)
2.Hemat energi,
3.Daur ulang pelarut dan air
Penghematan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
·Penggantian Trichloroethylene sebesar Rp. 138.600.000,-/tahun
·Penghematan energi sebesar Rp 256.370.000,-/tahun
·Daur ulang pelarut sebesar Rp. 13.200.000,-/tahun
·Daur pakai air sebesar Rp. 39.000.000,-/tahun
3M,
3M adalah salah satu perusahaan yang bisa dikatakan berhasil dalam menerapkan CP, dalam bentuk pencegahan pencemaran (Pollution Prevention). Program pencegahan pencemaran ini dilakukan oleh 3M secara sukarela (voluntary) dan merupakan cerminan sikap proaktif yang dianut oleh perusahaan itu. Hal terpenting dari kebijaksanaan 3M adalah kemampuan dan kemauannya dalam menggeser paradigma dari pendekatan end of pipe menjadi up the pipe. Bagi mereka, cara terbaik mengelola limbah adalah dengan tidak menimbulkan limbah.
Program pencegahan pencemaran dari 3M dikenal dengan nama 3P (pollution prevention pays), yang mulai dikembangkan pada tahun 1975. Dua tujuan dasar dari 3P adalah:
1.Mengeliminasi pencemaran pada sumbernya, sebelum timbul. Upaya ini akan menurunkan biaya lingkungan, mengurangi penggunaan energi, dan mengurangi penggunaan bahan baku yang diperlukan untuk produksi.
2.Memperhitungkan limbah sebagai bahan baku/sumber dya yang belum terpakai.
Sejak 1975 sampai dengan 1992 (atau selama 17 tahun), 3M melakukan 3.000 proyek 3P. Selama kurun waktu tersebut hal-hal yang telah dicapai adalah tereliminasinya:
·170.000 ton pencemar udara
·18.000 ton pencemar air
·2,7 milyar gallon limbah cair
·480.000 ton limbah padat
Dalam kurun waktu tersebut 3M telah menghemat 500 juta dolar.
Strategi dasar yang dilakukan oleh 3M dalam melakukan pencegahan pencemaran adalah:
·adanya komitmen dari manajemen puncak untuk melaksanakan program 3P.
·menjadikan pencegahan pencemaran sebagai salah satu budaya perusahaan.
·adanya komitmen untuk menjadikan pencegahan pencemaran sebagai salah satu elemen penting setiap rencana usaha 3M dan menjadikannya sebagai tolok ukur kinerja.
·menjadikan keberhasilan dalam menerapkan pencegahan pencemaran sebagai bagian dari penilaian kinerja karyawan dan manajer.
·Adanya komitmen untuk membiayai program penelitian dan pengembangan pencegahan pencemaran yang diwujudkan dengan mengucurkan dana sebesar 100 juta dolar untuk hal tersebut.
·Hal yang terpenting dalam penerapan program 3P adalah mulai dikembangkannya suatu hubungan antara tingkat keluaran pabrik dengan tingkat timbulan limbah.

Pertambangan

PERTAMBANGAN
PELAKU bisnis Industri Pertambangan, pemerintah, dan para pengamat ekonomi sangat jeli dalam membingkai dan membungkus investasi pertambangan, baik tambang mineral maupun minyak dan gas. Mulai dari bungkus kepentingan devisa, penyediaan lapangan kerja, mempercepat pertumbuhan ekonomi, hingga bungkus mengurangi angka kemiskinan. “Framming” yang begitu sempurna, tapi betulkah industri pertambangan akan membawa kemakmuran bagi rakyat?.
Ada sebuah olok-olok yang kerap dilontarkan oleh kelompok pro pertambangan ketika menanggapi sikap kritis masyarakat yang menolak hadirnya industri pertambangan di daerahnya, kurang lebih begini, “Jika tak setuju dengan pertambangan, kembali saja ke zaman batu. Juga tak usah lagi menggunakan alat-alat yang menggunakan bahan dasar mineral”. Olok-olok ini mereka lakukan sebagai bunuh diri filsafat, atas ketidakmampuan mereka menjelaskan hubungan antara pertambangan dan kemakmuran rakyat yang sebenarnya tidak pernah berkorelasi positif.
Aceh tak lama lagi akan memasuki fase rezim industri pertambangan industri pertambangan mineral atau rezim industri keruk, menggantikan rezim hidrokarbon di Aceh Utara yang telah gagal menjawab arti kemakmuran bagi rakyat Aceh, padahal hasil minyak dan gas lapangan arun selama bertahun-tahun menjadi penopang APBN Indonesia di era orde baru.
Industri pertambangan merupakan industri yang tidak berkelanjutan karena tergantung pada sumberdaya yang tidak terbarukan. Jika kemudian kelompok pro pertambangan begitu yakin bahwa industri tambang mineral di Aceh akan membawa kemakmuran. Bagaimana dengan dampak lingkungan yang akan di wariskan industri pertambangan, terutama setelah beroperasi?. Justru akan lebih memiskinkan masyarakat di sekitar areal pertambangan.
Pengelolaan lingkungan hidup dalam operasi pertambangan seharusnya meliputi keseluruhan fase kegiatan pertambangan tersebut, mulai dari fase eksplorasi, fase produksi, hingga pasca penutupan tambang. Belajar dari catatan operasi penutupan pertambangan yang dilakukan oleh PT Barisan Tropical Mining (milik Laverton Gold Australia) di Sumsel, PT Indo Moro Kencana (milik Aurora Gold Australia), PT Newmont Minahasa Raya (milik Newmont Amerika Serikat), PT Kelian Equatorial Mining (milik Rio Tinto Inggris-Australia). Seharusnya Aceh telah bersiap diri dan banyak belajar dari kasus-kasus pertambangan di wilayah lain di Indonesia.
Fenomena yang terjadi pada industri pertambangan diIndonesia, justru perusahaan tambang tersebut memiliki kekebalan untuk tidak mentaati aturan-aturan lingkungan hidup dan dapat dengan bebas melakukan pencemaran tanpa takut mendapatkan sanksi. Perilaku lainnya adalah praktik pembuangan limbah pertambangan dengan cara-cara primitif, membuang langsung limbah tailing ke sungai, danau, dan laut.
Celakanya, tidak ada aturan di Indonesia yang mewajibkan perusahaan Industri Pertambangan melakukan proses penutupan tambang secara benar dan bertanggungjawab. Kontrak karya pertambangan hanya mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan reklamasi, dalam pikiran banyak pelaku industri ini adalah penghijauan atau penanaman pohon semata. Jauh panggang dari api.

DAFTAR PUSTAKA :
http://dewagumay.wordpress.com


Selasa, 26 Oktober 2010

Ilmu Teknologi dan Pengetahuan LIngkungan

Teknologi dan Lingkungan

Sekitar 26 tahun yang lalu, EF Schumacher menerbitkan sebuah booklet berjudul ”The Age of Plenty, A Christian View” (The Saint Andrew Press, Edinburgh: 1974). Buku kecil ini memuat kritik Schumacher terhadap kemakmuran eksploitasi, bukan saja terhadap manusia, tetapi terlebih lagi terhadap alam. Sebagaimana pandangan para pemikir lain yang selalu kritis terhadap kemajuan iptek, Schumacher mengemukakan, teknologi dan industri harus ”mengabdi” kepada kelangsungan kehidupan manusia dan alam.
Memanglah, hingga kini, kemampuan teknologi dalam memecahkan masalah produksi mencatat tahap ”keajaiban”. Percakapan di seputar kloning yang beberapa waktu lalu ramai bergulir di media massa, adalah contoh nyata ”keajaiban” itu. Namun patut digarisbawahi, tak mudah pula menutup-nutupi kengerian yang mengiringinya: ia menjadikan manusia sekadar benda yang boleh diutak-atik dan dikontrol, dan juga ”kejam” terhadap alam karena, antara lain, memanfaatkan ratusan atau bahkan mungkin ribuan binatang sebagai kelinci percobaan.
Dalam hal perubahan masyarakat dan perkembangan teknologi kelihatannya terdapat hal yang kontradiktif. Awalnya teknologi diciptakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia, mempermudah segala aktivitas yang dilakukan oleh umat manusia dan memelihara kondisi lingkungan sekitar agar tetap dapat memberikan sumber daya yang memadai bagi kelangsungan hidup umat manusia. Namun, dalam perkembangan teknologi justru menjadi pemicu pertama penurunan kualitas lingkungan dengan sangat drastis. Penggunaan bahan bakar fosil untuk menjalankan industrialisasi sejak masa awal revolusi industri, memicu penggunaannya secara besar-besaran hingga mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan dan penipisan sumber daya alam bagi generasi berikut. Kalau sebelum muncul masyarakat industri, hampir 80 persen benda yang digunakan manusia berasal dari hewan dan 20 persen dari mineral, industrialisasi mengubah kecenderungan itu. Ia mulai terpusat pada cadangan bumi berupa energi dan material tak terbarui, seperti bahan baku fosil dan mineral. Di sinilah kapitalisme industrial mengeruk seluruh bahan baku tanpa mempedulikan akibat pada lingkungan, sehingga pada abad ke-19, Inggris telah menjadi ”bengkel dunia”. Tidak selesai sampai di situ, asap dan buangan pabrik meracuni udara, air, dan tanah. Dan bahan-bahan kimia yang dibuang ke lingkungan berdampak berat bagi pekerja dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Akibat lain revolusi industri menghabisi kekayaan alam dengan laju yang mengerikan, menghancurkan hubungan dengan tanah, dan menyingkirkan petani ke belakang. Sementara itu, populasi membengkak, teknologi menguasai lingkungan, dan kekayaan material meningkat. Imbalannya? Kerusakan alam yang terus memburuk kondisinya.
Begitulah, pada masanya seakan-akan laju perkembangan teknologi tak pernah bisa berjalan beriringan dengan keperdulian pada lingkungan hidup.
Namun, seiring dengan makin menguatnya keperdulian global pada masa depan bumi, telah membawa pergeseran paradigma dalam hubungan teknologi dan lingkungan hidup. Awalnya adalah seorang biolog Amerika, Barry Commoner yang di tahun 1962 mengingatkan resiko makin meningkatnya polusi. Menurut Barry, mata rantai ekologi terputus akibat industri dan digantikannya produk alami dengan bahan sintetis. Sejak itu pula (1962-1970-an), banyak kalangan termasuk industriawan berusaha ramah dengan lingkungan. Kemudian muncul kebutuhan untuk mengembangkan teknologi yang dapat menjaga tingkat keberlanjutan lingkungan beserta dengan segala sumber daya yang dimilikinya. Teknologi tidak lagi melulu dilihat sebagai alat eksploitasi, tetapi lebih sebagai alat pemeliharaan lingkungan beserta dengan sumber dayanya agar kehidupan umat manusia dan lingkungan alam dapat berkelanjutan. Dengan kata lain, perlindungan lingkungan seraya meningkatkan kualitas hidup dan memelihara kemampuan bersaing, memerlukan perubahan teknologi. Pada umumnya teknologi baru ini lebih efisien. Artinya, teknologi ini memerlukan lebih sedikit input, termasuk energi, per satuan output, serta kurang mencemari dibandingkan teknologi lama yang digantikannya. Singkatnya, telah tumbuh perubahan orientasi pembangunan dengan teknologi baru berwawasan lingkungan. Dalam pembangunan berwawasan lingkungan, muncul semboyan: produce more with less resources, with less energy and with less waste. Salah satunya tampat lewat didirikannya Pusat Teknologi Lingkungan Hidup Asia-Eropa. Pusat ini menyatukan pemakai dan pemasok dalam bidang riset dan teknologi lingkungan hidup. Pusat ini akan bekerja dalam masalah-masalah lingkungan hidup terpenting yang kita hadapi, misalnya masalah kota besar dan teknik untuk membersihkan polusi.
Perkembangan ini mengikis pendekatan tradisional dalam memandang hubungan industri dengan teknologi. Pendekatan tradisional melihat bahwa industri mengakibatkan masalah lingkungan dan mencoba mencari jalan keluar yang bertanggung jawab untuk meminimalkan kerusakan yang dapat diakibatkan. Sebaliknya, pendekatan yang didasarkan pada teknologi yang bersih seharusnya mencari cara proses produksi yang dapat meniadakan atau mengurangi masalah yang mungkin terjadi sejak awal, sebelum permasalahan yang berkaitan dengan masalah lingkungan muncul. Misalnya, lewat pendekatan minimalisasi limbah dan ”dematerialisasi”, dengan kata lain telah terjadi pergeseran dari pengendali polusi ke pencegahan polusi. Pengendali polusi berarti membersihkan limbah setelah limbah tersebut terbentuk sebagai sisa proses produksi. Sedang pencegahan polusi memfokuskan diri pada peminimalan atau penghindaran dari limbah sebelum limbah tersebut tercipta. Peningkatan teknologi membuat ekosistem secara alami menjadi lingkungan hidup buatan (manmade environment). Teknologi akan merombak lingkungan dengan limbah. Jasad renik tidak mampu lagi mendekomposisi limbah dalam ekosistem. Limbah diemisi dari sistem daur ulang dan terjadilah tragedi polusi udara, tanah, air dan seluruh ekosistem. Ekosistem alami akan menyerapnya kembali, namun manmade environment tidak mampu. Namun, dalam dekade terakhir ini, bioteknologi berhasil menemukan dekomposer yang lebih cepat, sehingga teknologi inilah yang perlu kita kembangkan lebih lanjut, agar keseimbangan ekosistem terkoreksi dan kualitas hidup manusia tertolong.
Keharusan meningkatkan penguasaan teknologi lingkungan itu tak terbatas pada teknologi pengolahan limbah dan penerapan proses daur ulang. Tapi juga mencakup penguasaan teknologi rekayasa, dari proses produksi hingga teknologi pabrikasi suatu industri yang diandalkan. Bagi kita di Indonesia, ini jelas sangat penting karena selama ini hampir seluruh industri di sini adalah hasil turn key, khususnya pada jenis industri kimia. Salah satu bukti penguasaan dan penerapan teknologi lingkungan yang dapat mengubah faktor cost menjadibenefit tak harus selalu berupa rekayasa teknologi canggih. Beberapa dapat berupa teknologi tepat guna. Namun jelas membuktikan penguasaan teknologi lingkungan dapat mengubah pengertian yang selama ini berkembang, yakni faktor kepentingan lingkungan identik dengan tambahan biaya.
Sayangnya, untuk kasus Indonesia, kebutuhan untuk mengubah sistem teknologi sangat lambat dipahami oleh industriawan kita. Pemahaman tentang pentingnya mempertahankan kualitas lingkungan yang baik, terasa kurang dipahami oleh kaum industrialis kita. Mereka kebanyakan tetap lebih suka being trader. Sebagai pedagangan mereka umumnya tidak mau mengembangkan teknologi berwawasan lingkungan. Karena tanpa melakukan itu pun, mereka merasa tetap mendapat untung, walau harus dengan jalan merusak lingkungan. Namun kemudian, akibat perubahan permintaan pasar yang lebih tanggap terhadap lingkungan, perkembangan teknologi yang memungkinkan terciptanya teknologi yang lebih tanggap lingkungan dan semakin berkurangnya input bahan baku (sumber daya) yang memadai untuk melakukan sistem produksi dengan cara lama yang boros (tidak tanggap lingkungan). Dengan teknologi yang dimiliki, suatu institusi dalam tingkatan apa pun bisa mencari atau menciptakan produk yang lebih baik dalam arti lebih tanggap terhadap lingkungan. Memperpendek jalur distribusi juga dapat meningkatkan efisiensi dan pengurangan penggunaan sumber daya alam yang berlebihan serta meningkatkan kualitas, pesan dan tampilan produk, yang amat berguna bagi aspek pemasaran produk atau perusahaan.
Menurut hukum ekonomi, penguasaan teknologi lingkungan yang harus menjadi bagian terintegrasi dalam menjalankan kebijakan pelestarian lingkungan tersebut, benar-benar dapat dibuktikan secara ilmiah. Coba saja amati, dengan penerapan teknologi maka faktor kualitas dan harga pasti akan meningkat. Ini berarti akan tetap bisa mempertahankan nilai keuntungan walaupun suatu kegiatan industri itu harus dibebani pula dengan biaya pengolahan limbahnya. Dengan penerapan teknologi lingkungan, akan didapat pula peningkatan kualitas produksi. Karenanya, penerapan kebijakan mengintegrasikan penerapan teknologi lingkungan akan menjamin pula meningkatkan kemampuan pebisnis Indonesia dalam menerobos pasar ekspor. Misalnya, dengan menerapkan teknologi pada sektor industri kehutanan akan dicapai standarisasi kualitas berdasar ecolabellingdan ISO 14001 yang dapat menjamin sukses menerobos pasar dunia.

Daftar Pustaka :