Selasa, 15 Februari 2011

Konsep kerja dalam islam

Konsep Kerja dalam Islam
Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya.  Dengan itu, sesuatu
amalan atau pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk
diberi perhatian.  Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia,
juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di
akhirat kelak; apakah masuk golongan ahli syurga atau sebaliknya.
Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri
dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal
lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan  yang mempunyai unsur kebaikan dan
keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk
kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain.  Oleh karena itu, kategori ahli
Syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang yang mempunyai  pekerjaan/jabatan yang
tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai manajer,  direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya.
Tetapi sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah) itu adalah orang yang
banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya
serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya (QS Al Mu’minun : 1 – 11)
Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu ataupun seorang yang tidak mempunyai
pekerjaan tetap.  Sifat-sifat di ataslah  sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang di dunia
dan di akhirat kelak.   Jika membaca hadits-hadits Rasulullah SAW tentang ciri-ciri manusia yang baik di sisi
Allah, maka tidak heran bahwa diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka
yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan sunnah yang
banyak dan seumpamanya.
Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Umar r.a., berbunyi : ’Bahwa setiap amal itu bergantung pada
niat, dan setiap individu itu dihitung berdasarkan apa yang diniatkannya …’  Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW
bersabda :  ‘ Binasalah orang-orang Islam kecuali mereka yang berilmu. Maka binasalah golongan berilmu,
kecuali mereka yang beramal dengan ilmu mereka.  Dan binasalah golongan yang beramal dengan ilmu mereka
kecuali mereka yang ikhlas.  Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga masih dalam keadaan bahaya yang
amat besar …’  Kedua hadist diatas sudah cukup menjelaskan betapa niat yang disertai dengan keikhlasan
itulah inti sebenarnya dalam kehidupan dan pekerjaan manusia.  Alangkah baiknya kalau umat Islam hari ini, 2
dapat bergerak dan bekerja dengan tekun dan mempunyai tujuan yang satu, yaitu ‘mardatillah’ (keridhaan Allah)
itulah yang dicari dalam semua urusan.  Dari situlah akan lahir nilai keberkahan yang sebenarnya dalam
kehidupan yang penuh dengan curahan rahmat dan nikmat yang banyak dari Allah.  Inilah golongan yang
diistilahkan sebagai golongan yang tenang dalam ibadah, ridha dengan kehidupan yang ditempuh, serta optimis
dengan janji-janji Allah.
Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW
Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk
menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT.
Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa'ad
melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. "Kenapa tanganmu?," tanya Rasul
kepada Sa'ad. "Wahai Rasulullah,"  jawab Sa'ad, "Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan
cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku". Seketika itu beliau mengambil tangan
Sa'ad dan menciumnya seraya berkata, "Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka".
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang
tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah,
andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya." Mendengar
itu Rasul pun menjawab, "Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah  fi
sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah;
kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga  fi sabilillah." (HR AthThabrani).
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu
ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT menciptakan manusia
untuk beribadah kepada-Nya?
Tidak berlebihan bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya. Allah SWT berfirman:
, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah apa  yang ada pada
dirinya. (QS Ar-Ra'd [13]: 11).   Dalam ayat lain diungkapkan pula:
“dan bahwasannya  seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.  (QS AlNajm [53]: 39).
Kisah di awal menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasulullah SAW terhadap kerja. Kerja apapun itu
selama tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya penghargaan beliau, sampaisampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini "rela" mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari  yang
melepuh lagi gosong. Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya bahwa
bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasulullah SAW adalah sosok  yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para sahabat untuk
melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi seluruh
manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi
rujukan. Dan berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau
menjalankan peran-peran dalam hidupnya.   Ada lima  peran penting yang diemban Rasulullah SAW, yaitu :

Pertama, sebagai rasul. Peran ini beliau  jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus
berdakwah menyebarkan Islam; menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari 6666
ayat Alquran; menjadi  guru (pembimbing) bagi para sahabat; dan menjadi hakim  yang memutuskan berbagai 3
pelik permasalahan umat-dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
Kedua, sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala memegang posisi ini
Rasulullah SAW harus menerima kunjungan diplomatik "negara-negara sahabat". Rasul pun harus menata dan
menciptakan sistem hukum yang  mampu menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur
perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.
Ketiga, sebagai panglima perang. Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin pertempuran melawan
kafir Quraisy. Sebagai panglima perang beliau harus mengorganisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri bersenjata.
Harus memikirkan strategi perang, persedian logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.
Keempat, sebagai kepala rumahtangga. Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi
tanggung jawab-lahir batin-terhadap  para istri beliau, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal
sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Di tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat
bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
Kelima, sebagai seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah mengajaknya melakukan
perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syria, Jordan, dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar
20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan
pemain pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan
entrepreneurship Rasulullah SAW terbukti dengan "terpikatnya" konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid,
yang kemudian melamarnya menjadi suami. Afzalurrahman dalam bukunya,  Muhammad Sebagai Seorang
Pedagang (2000: 5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam perjalanan bisnis ke berbagai negeri
seperti Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37
tahun.
Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan kelima perannya tersebut dengan sempurna,
bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik itu yang Muslim maupun non-Muslim,
menempatkan beliau sebagai orang yang paling berpengaruh, paling pemberani, paling bijaksana, paling
bermoral, dan sejumlah paling lainnya.
Apa rahasia kesuksesan karier dan pekerjaan Rasulullah SAW?
Pertama, Rasul selalu bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan tidak asal-asalan. Beliau bersabda,
"Sesungguhnya Allah menginginkan  jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan
kualitasnya".
Kedua, dalam bekerja Rasul melakukannya dengan manajemen yang baik, perencanaan yang jelas, pentahapan
aksi, dan adanya penetapan skala prioritas.
Ketiga, Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. "Barangsiapa  yang dibukakan pintu
kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tidak tahu kapan ditutupkan kepadanya,"
demikian beliau bersabda.
Keempat, dalam bekerja Rasul selalu memperhitungkan masa depan. Beliau adalah sosok  yang visioner,
sehingga segala aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus.
Kelima, Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas dan berkualitas.
Keenam, Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim  yang solid  yang percaya
pada cita-cita bersama.
Ketujuh, Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu. Tidak berlalu sedetik pun waktu, kecuali menjadi
nilai tambah bagi diri dan umatnya. Dan  yang terakhir, Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi
keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih
keridhaan Allah SWT. Inilah kunci terpenting.
Semoga Allah SWT memberikan kemampuan kepada kita untuk meneladani etos kerja Rasulullah SAW.
Disampaikan oleh Khayatun pada pengajian rutin DKSI-IPB, Jum’at 22 Jumadil Akhir 1428/27 Juni 2008.

daftar pustaka : 
1. Al Quran dan terjemahnya
2. Akhlak Nabi Muhammad SAW (Keluhuran dan kemuliaannya), Ahmad Muhammad Al-Hufy
3. Konsep Kerja dalam Islam, Dr. Asyraf Hj Ab Rahman
4. [Ar-Royyan-3465] Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW, Agus Rasidi  

Globalisasi

SUDUT GELAP GLOBALISASI
Oleh : Aziezulloh Zamzami

Mendengar istilah globalisasi, yang terbayang dalam batok kepala kita mungkin adalah sebuah sistem yang mengatur ekonomi dunia tanpa mengenal batas-batas negara (borderless world). Sehingga dimungkinkan adanya pertukaran modal, tenaga kerja, maupun komoditas-komoditas berupa barang dan jasa antar negara secara bebas dengan tarif 0%. Itu adalah bagian dari globalisasi. Sistem ini benar-benar memberikan kekuasaan pada mekanisme pasar. Proteksi negara untuk berbagai sektor-sektor ekonomi sedikit demi sedikit mulai dikurangi. Madeley dan Solagral (2001) memberikan pengertian mengenai liberalisasi perdagangan ini, yaitu proses pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan non tarif secara sistematis antar negara sebagai mitra dagang.
Melihat fenomena sistem ekonomi diatas, kita dapat mengetahui adanya kesamaan dengan sistem ekonomi yang diterapkan di negara-negara barat, yaitu sistem ekonomi liberalisme. Sistem ekonomi yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada individu untuk berusaha dan sekaligus meminimalkan peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Paham ini percaya bahwa kemakmuran negara akan terwujud bila masing-masing individu dalam negara tersebut juga makmur dengan memberikan  kebebasan berusaha yang seluas-luasnya kepada warga negaranya. Dari keterkaitan itu dapat dipahami jika ide globalisasi digulirkan dan benar-benar diperjuangkan oleh negara-negara barat (baca : negara maju). Sebab globalisasi secara ekonomi sangat menguntungkan mereka. Investasi mereka tidak akan terhambat oleh tarif dan non tarif ekspor impor komoditas perdagangan. Dan ini terbukti sangat efisien. Namun lain halnya dengan negara berkembang, dengan masuknya barang-barang dari negara maju, pada tingkat tertentu akan menyaingi dan bahkan mematikan produksi barang-barang dari negara berkembang, yang notabene masih diproduksi secara tradisional dengan manajemen yang sederhana. Ini adalah salah satu dampak nyata dari globalisasi/liberalisasi. Walaupun dalam perkembanganya, semua negara, termasuk negara berkembang, ikut meng-amin-i ide globalisasi  ini.
Bagaimanapun juga tantangan globalisasi tidak hanya menjadi momok bagi negara berkembang saja tetapi negara maju juga mengalami ketakutan yang sama. Negara maju menginginkan tekhnologi dan barang-barang yang dihasilkanya tidak terhambat untuk menjamah pasar-pasar negara berkembang, tetapi sekaligus berusaha keras menghambat agar produk-produk dari hasil industri padat karya negara berkembang yang “terlalu murah” tidak bebas beredar dan menjamah pasar-pasar di negara maju yang untuk selanjutnya menyaingi produk-produk dari negara maju. Walaupun dari sisi kualitas, produk tersebut tidak kalah dengan komoditas negara maju. Oleh karena itu negara maju berusaha mempengaruhi industri-industri negara berkembang melalui kebijakan-kebijakan pemerintah negara berkembang. Pengaruh itu antara lain mengenai kebijakan mengenai kondisi buruh, upah buruh maupun perlindungan terhadap lingkungan hidup. Implementasi dari pengaruh itu dalam dunia buruh adalah dengan “merekomendasikan”  tingkat UMK/UMR di Indonesia, walaupun tidak secara langsung. Sehingga dengan begitu perindustrian negara berkembang dapat dikontrol. Dari sini dapat dipahami bahwa keterlibatan negara maju maupun dunia internasional sangat erat. Keterlibatan yang dapat memaksakan keinginan negara maju kepada negara berkembang. Salah satu alat paling “mujarab” untuk bisa memaksakan kehendak kepada negara berkembang adalah melalui kebijakan pemberian pinjaman dari IMF, CGI, maupun Bank Dunia. Dari penjabaran hubungan kausalitas tersebut maka wajar jika saatnya kita satu suara, “Tolak Utang Luar Negeri”.
Hambatan bagi negara berkembang untuk memasarkan produk-produknya di pasar Internasional tidak hanya berhenti sampai disini. Berbagai macam standardisasi diperkenalkan oleh negara maju lewat ISO, misalnya. Artinya, komoditas perdagangan produk negara berkembang yang ingin masuk pasar-pasar negara maju harus memenuhi aturan-aturan (mereka) yang telah ditetapkan. Itu semua dilakukan negara maju untuk memproteksi negara maju agar produk-produk negara berkembang tidak dengan mudahnya menyaingi produk-produk negara maju.
Konspirasi tersebut misalnya dapat dilihat dalam kesepakatan SPS (Sanitary and Phytosanitary) sebagai berikut : 1.) Amerika Serikat memberikan penalty dalam bentuk diskon harga secara otomatis untuk produk asal Indonesia seperti kakao, lada, udang dan jamur dengan alasan terkontaminasi serangga, salmonella, logam berat dan anti biotik. Disisi lain AS memaksakan produk CLQ (Chiken Leg Quarter)nya diterima oleh Indonesia yang disangsikan kehalalanya. 2.) Jepang menolak buah-buahan Indonesia dengan alasan terkontaminasi lalat buah. Selain itu, jepang juga menolak masuknya pucuk tebu dengan alasan penyakit mulut dan kuku (PMK). 3.) Beberapa komoditas hortikultura dari Indonesia seperti pisang, pepaya dan jeruk mengalami pelarangan masuk ke pasar Taiwan dengan alasan ditemukan lalat buah yang tenyata tidak terdapat di Indonesia. (Deptan, 2001). Dari berbagai ketidak adilan perdagangan yang terjadi, salah satu hal yang mendesak untuk dilakukan adalah memperkuat kerjasama antar negara berkembang untuk secara bersama-sama berjuang untuk kepentingan rakyat negara berkembang dalam forum negosiasi dagang WTO. Bagaimanapun juga liberalisasi punya aturan main, dan kita dituntut untuk memperjuangkan kepentingan negara (baca : rakyat) dalam forum negosiasi aturan main tersebut. Bukan hanya meng-amin-i setiap poin yang mereka tawarkan.
Disadari atau tidak kita telah banyak mengadopsi teori ekonomi negara barat. Di berbagai jenjang pendidikan materi-materi yang diberikan banyak berkiblat pada teori-teori neoklasik barat. Kita lebih mengenal teori ekonomi dari Adam Smith dan David Ricardo ketimbang teori ekonominya Karl Mark. Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan sedang menuju pada kemandirian dituntut untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa, termasuk ekonomi, sesuai Ideologi yang dipegang teguh yaitu Ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi kerakyatan yang sedang marak dibincangkan saat inipun sebenarnya merupakan subsistem dari teori ekonomi Pancasila yang mulai didengung-dengungkan sejak kemerdekaan. Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa penyelesaian masalah yang sama antara negara satu dengan lainya memerlukan cara penyelesaian yang berbeda sesuai dengan ideologinya masing-masing melalui pendekatan moral dan kelembagaan yang ada di negara tersebut. Sehingga kita sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat  tidak asal adopsi sistem maupun teori dari negara lain. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, “ Rumput tetangga memang tampak lebih hijau”. Wallahua`lamu bisshowab.

www.mail-archive.com/.../SUDUT_GELAP_GLOBALISASI_OK..doc